Tanaman transgenik mulai dikenal di Indonesia sejak Kapas Bollgard ditanam di Sulawesi Selatan. Kapas ini direkomendasikan mampu berproduksi lebih 3 ton per ha dan dapat meningkatkan pendapatan petani hingga lima kali lipat. Mungkin dengan alasan ini sehingga Mentan mengeluarkan SK no. 03/Kpts/KB/ 430/1/2002 untuk lanjutkan penanaman Bollgard tahun 2002, yang diikuti oleh optimisme pemerintah melalui Direktorat Tanaman Semusim Ditjen Bina Perkebunan Deptan bahwa tahun 2007 dengan produksi 4 ton per ha pada lahan 500.000 ha di Sulawesi Selatan saja, Indonesia mampu untuk tidak mengimpor kapas lagi. Namun betapapun hebat iklan yang dilakukan oleh Perusahaan pemilik Bollgard, para Birokrat dan para pakar, kenyataan di lapangan membuktikan lain.

Klaim tentang kualitas dan kuantitas produksi rata-rata kapas Bollgard jauh di atas kapas jenis Kanesia, hingga 2 tahun pengembangannya di daerah Sul-Sel belum mencapai hasil optimal sebagaimana digembar-gemborkan selama ini. Dari 4364,2 ha lahan kapas yang ditanam, ternyata total produksi yang dicapai 4.312,131 kg saja, ini artinya hanya 0,989 ton per ha padahal seharusnya 17,456,8 sebagaimana sebelumnya diklaim untuk kapas transgenik bisa menghasilkan kapas serat sebesar 4 ton per ha. Pada aspek sosial; dari 4438 petani penanam Bollgard, ada 76 % petani tidak mampu mengembalikan kredit (satu tahun tanaman transgenik, siapa yang untung.

Madhya Pradesh merupakan salah satu negara bagian dan dikenal sebagai “the cotton-growing belt” di India adalah saksi mata dari kegagalan kapas transgenik Bt-cotton karena sangat bermasalah terhadap hama dan penyakit termasuk Helicoverpa armigera . Di distrik Maharashtra saja sekitar 30.000 ha dengan sempurna tidak bisa panen, dan pemerintah setempat menuntut kompensasi sebesar 5 milyar rupee. Keberatan petani penanam jagung RR (round-up ready) di distrik Udaipur, India yang hanya mendapatkan rata-rata hasil 17,5 kwintal per ha dari yang dijanjikan bisa mencapai 125-225 kwintal per ha (harga benih lokal Desi 5 rupee / kg ; jagung RR 55 rupee / kg), sedangkan produksi jagung lokal 15 kwintal/ha, hanya 250 kg lebih rendah dari jagung RR.

Pada gambaran di atas, dapat disimpulkan bahwa Bollgard di Sul-sel tidak sukses setelah 2 tahun penanamannya, sama yang terjadi di India. Adakah yang salah ? dan ada apa dengan tanaman transgenik ?.


CONVENTIONAL versus GENETIC ENGINEERING BREEDING

Pemuliaan tanaman secara konvensional merupakan persilangan allel dari gene yang sama dipadukan dalam khromosomal sebagai hasil dari evolusi. Teknik konvensional merupakan teknologi murah-meriah dan di lapangan kehadirannya relatif stabil dibanding dengan teknik rekayasa genetik (GE). Kultivar tanaman hasil GE relatif tidak stabil dibanding dengan kultivar tanaman non transgenik (van der Krol et al., 1998; Doerfler, 1997; Traavik, 1998 dan Bergelson et al., 1999). Ketidakstabilan tanaman transgenik di lapangan karena beberapa kenyataan :

1. Teknik recombinant DNA (rDNA), menyisipkan satu gene yang diinginkan dengan menggunakan gen gun atau teknik lainnya seperti menggunakan Ti-plasmid, chemopora-tion, electroporation dll, ke dalam khromosom tanaman yang telah ada. Umumnya material genetik berasal dari organisme dimana organisme ini tidak pernah bersilangan di alam.

2. Penyisipan material genetik tidak dapat diprediksi dalam banyak parameter; jumlah DNA yang di “transgene” kan, lokasi mereka (dalam khromosom, khloroplast dan mitokhondria), ketepatan posisi (dimana dankhromosom yang mana), struktur dan stabilitas fungsional mereka di alam.

3. Tempat penyisipan gen bervariasi dan konsekuensinya adalah berpotensi negatif dan sulit diprediksi (dikenal sebagai insertional mutagenesis). Tempat penyisipan gen dapat mempengaruhi ekspresi dari transgene yang disisipkan termasuk ekspresi gen-gen inang yakni gen-gen di dalam organisme resipien) dan dikenal sebagai position effect.











 
Copyright © 2011. My World Is Yours - All Rights Reserved
Template Modify by My World Is Yours
Proudly powered by Blogger